Minggu, 22 Agustus 2021

Batu Kecil

                                                            

    Bolehkah ku bertanya padamu, seberapa berartinya aku di mata dirimu ? Aku sangat penasaran beberapa waktu terakhir. Aku kira narasi yang bercerita tentang perpisahan selama ini hanyalah karangan yang tidak mungkin ada kisah nyatanya. Sampai tibalah, waktu dimana aku mengalaminya sendiri. 

    Kukira, duniaku hancur saat itu. Hanya asap putih yang berkumpul di ruangan kamarku. Semuanya terlihat abu-abu, tapi cahaya lampu menyala begitu terang. Mengapa penghianatan merenggut semua stock toleransi yang tersedia pada diriku ? Malam itu, aku sangat kacau dan kehilangan arah. Bahkan aku tidak tau esok hari akan seperti apa. 

    Mayat hidup! Begitulah seruan dari teman kerjaku di kantor. Mereka tak tau sudah berapa hari aku tidak bisa tidur dengan nyenyak, pun tak tau seberapa tenggelamnya aku sehari sebelum teriakan itu terdengar di telingaku. Tanpa penolakan, seolah aku mengiyakan bahwa benar, aku memang mayat hidup.

    Bukan dari virus asal muasal mayat hidup ini ada. Mayat hidup ini tercipta dari sebuah ekspektasi besar yang ternyata tidak sedikitpun mendekati kenyataan. Berat sekali mengemban rasa yang rumit ini. Hidupku benar-benar kacau! Beberapa kali aku nyaris lupa kalau aku masih bernafas dengan baik, karena isak tangis yang terus terjadi. 

    Bertahan menggenggam sebuah batu kecil, yang ku kira suatu saat akan berubah menjadi dunia yang indah versiku. Tapi aku lupa, kalau batu kecil itu hanyalah batu biasa yang bahkan dapat rapuh jika terus mendapat tetesan air di titik yang sama. Lalu salah siapa ? Apakah mayat hidup itu dibuat atau terbuat sendiri ? Siapa yang layak dan harus aku kejar atas pertanggungjawaban ini ?




    Mayat hidup terus hidup. Mungkin di satu tempat biasa dia hidup, sudah dirasa tak nyaman lagi karena terlalu banyak memori disana. Maka mayat hidup itu pergi ke tempat lain, dengan harapan dapat mewujudkan dunia bentukan dari satu-satunya batu kecil yang ada pada genggaman tangannya. Ditengah perjalanan, ia lupa bahwa yang pergi hanyalah jiwanya. Ternyata raganya masih tertinggal disana. 

    Setelah menyadari semua, maka aku berjalan semakin lemah sekarang. Sepertinya jari-jari kakiku mulai terlepas satu per satu saat ini. Tak apa, aku masih mempunyai telapak kaki untuk menopang langkah ini. Sembari berjalan, aku ditiupi angin timur. Semakin lemahlah langkah ini, sampai akhirnya aku hampir tak bisa berjalan karena telapakku terluka dan terlepas dari pergelangan kaki. 

    Sangat menakutkan ternyata rupa dari mayat hidup ini. Tak jarang pikirannya melayang-layang saat berusaha berjalan. Kuingat-ingat lagi, apakah dia masih menyimpannya ? Aku mengerti. Ya, aku mengerti. Tidak, aku tidak mengerti. Semua ini tidak benar. Pastilah dia tak mencari, karena memang tak pernah benar-benar memilikiku.

    Lalu bagaimana ? aku sejenak berhenti berjalan. Dari kejauhan ku melihat manusia normal. Tubuhnya sempurna, berdiri tegap dan melangkah tegas menujuku. Dia menamparku beberapa kali sambil meneriakiku. Mayat Hidup ! Mayat Hidup ! Bukan kau mayat hidup itu ! Sadarlah bodoh ! Kau masih manusia. Selama sakit masih bisa kau rasakan, maka kau masih manusia. Dasar Bodoh ! Saling mencekik, saling mencerna kata-kata makian. Jangan ucapkan kata itu lagi, tolong. Aku sangat takut ada kehilangan bahwa cinta itu pernah ada. 

    Maka aku menangis, karena aku berjalan jauh. Sudah terlanjur terurai darah ini dan sudah hancur berantakan seluruh pikiran ini. Kubur aku ! Kubur aku ! kami saling mencela, dan lupa arti dari cinta dan perasaan sejenisnya. Kubur ! Aku sudah terluka parah dan tak pantas hidup. Aku terus tersesat dan tak jelas kemana tujuan ku berjalan. 

    Sudah. . Itu sudah lama ! teriaknya. Itu sudah lama ! Kau sadarlah. Selama aku masih bisa melihat dan berdiri disini, maka kamu masih manusia. Kamu masih layak hidup, dasar bodoh ! Terus dia menghujani ku dengan kata-kata itu diantara isak tangisku. Hingga turunlah hujan, dan aku mulai tenang. Disaat yang hampir sama, dia membisiki ku. "Lepaskan batu kecilmu itu sekarang". Dengan menatap ku yakin, maka kulepaskan batu kecil dalam genggaman. 

    Cinta yang lalu bukan ku lupa, tapi memang hidup terus berjalan. Maka aku pergi, dan pasti akan ada cinta yang tepat untuk menyusulku. Selamat jalan, doaku menyerta selalu. Saat ini aku hidup kembali. Rupanya, aku bermimpi begitu rumit dan panjangnya. Pada kenyataannya, saat aku membuka mata dan terbangun, kudapati genggaman hangat dari tangan penuh cinta untukku. Ya, kau mungkin terpuruk cukup dalam dan menyakitkan. Tapi ketika kau tau waktu yang tepat untuk menerima kenyataan itu tiba, maka disaat itulah penderitaan mu hilang dan kau pantas mendapati senyuman itu lagi meskipun dari wajah yang tak serupa. Tapi kupastikan, hatinya besar untukmu sepenuhnya. 

    Bukan selamat jalan, maka selamat tinggal batu kecil.


Teman Bicara

                                                                         

      Mengenal lebih jauh tentang Teman Bicara adalah sebuah podcast yang dibuat sebagai media menyampaikan sudut pandang, diskusi, dan juga karya narasi dengan tujuan utamanya adalah bentuk healing dari penulis itu sendiri. Menggunakan bahasa ringan sehingga dapat mudah untuk dipahami pembaca dan pendengar. 

 



   Teman Bicara dibentuk karena penulis selama ini mengalami sedikit kendala dalam berinteraksi langsung, oleh karenanya agar tidak hanya menjadi sekedar angan yang berkumpul di kepala dan akan hilang selaras dengan waktu, maka untuk mensiasatinya penulis membuat sebuah podcast sebagai media penyampaian dan juga blog ini.
   Setiap dukungan berupa saran dan masukan akan sangat ditunggu untuk memperbaiki cara dan bentuk karyaku kali ini yang bisa disampaikan melalui email.

   Terima kasih sudah mampir ke blog ku kali ini, semoga kalian terhibur ❤.

Tercekat lidahku malam ini, satu pil ku teguk untuk menahan pelik di kepala Saat ini aku hanya sedang mengasihani diriku untuk tahun-tahun s...